WELCOME TO MY BLOG.... :)
Please Enjoy Your Self

Tuesday, October 30, 2012

Farmakologi

HORMON PERTUMBUHAN

A.    FAAL
Pertumbuhan. Fungsi fisiologi hormon pertumbuhan yang paling jelas adalah terhadap pertumbuhan. Defisiensi hormon ini menyebabkan kekerdilan (dwarfisme), sedang kelebihan hormon ini menyebabkan gigantisme pada anak dan akromegali pada orang dewasa. Disamping hormon lain juga dalam berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan normal yaitu tiroid, insulin, androgen dan estrogen.
Pemberian hormon pertumbuhan pada pasien hipopituitarisme menyebabkan pertumbuhan normal apabila pengobatan dimulai cukup dini. Pematangan alat kelamin tidak terjadi tanpa pemberian hormon kelamin atau gonadotropin. Gigantisme dan akromegali tidak pernah dilaporkan terjadi akibat terapi dengan hormon ini.

B.     EFEK TERHADAP METABOLISME.
Hormon pertumbuhan terutama mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak, dengan mekanisme kerja belum jelas. Hormon lain yaitu insulin, glukagon juga berpengaruh terhadap pengaturan zat- zat ini. Pengaruh hormon ini terhadap metabolisme karbohidrat saling berkaitan sehingga sukar dirinci satu per satu. Hormon pertumbuhan memperlihatkan efek antiinsukin yaitu meninggikan kadar gula darah, tetapi disamping itu juga berefek seperti insulin yaitu menghambat penglepasan asam lemak dan merangsang ambilan asam amino oleh sel. Efek ini sebagian besar mungkin diperantarai oleh somatomedin C atau disebut juga IGF-1 (insulin like growth factor 1) dan sebagian kecil oleh insulin like growth factor 2 (IGF-2).
Hormon pertumbuhan terbukti berpengaruh pada penyakit diabetes melitus. Pasien diabetes sangat sensitif terhadap terjadinya hiperglikemia oleh hormon pertumbuhan. Pada pasien bukan diabetes melitus hormon ini dapat diberikan dalam dosis besar tanpa menyebabkan hiperglikemia, bahkan sebaliknya kadang- kadang dapat menyebabkan hipoglikemia pada pada pemberian akut karena mempermudah glikogenesis.
Pada keadaan lapar hormon pertumbuhan menyebabkan mobilisasi lemak dari depot lamak untuk masuk keperedaran darah. Hormon ini agaknya mengalihkan sumber energi dari karbohidrat ke lemak.
Hormon pertumbuhan memperlihatkan keseimbangan positif untuk N, P, Na, K, Ca dan Cl, unsur- unsur terpenting untuk membangun jaringan baru. Nitrogen terutama terdapat dalam asam amino yang dibawa kedalam jaringan untuk ebentuk protein meningkat, sehingga kadar N dalam darah
(urea) menurun, sesuai dengan efek anaboliknya.
Efek GH terhadap pertumbuhan terutama terjadi melalui peningkatan produksi IGF-1, terutama dibentuk dalam hepar. Selain itu GH juga terangsang produksi IGF-1 ditulang, tulang rawan, otot dan ginjal. GH merangsang pertumbuhan longitodinal tulang sampai epifisis menutup, hapir saat akhir pubertas.
Baik pada anak- anak maupun dewasa GH mempunyai efek anabolik pada otot dan katabolik pada sel- sel lemak sehingga terjdi peningkatan assa otot dan pengurangan jaringan lemak terutama di daerah pinggang. Terhadap metabolise karbohidrat GH dan IGF-1 mepunyai efek yang berlawanan pada sensivitas terhadap insulin.
GH menurunkan sensivitas terhadap insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Sebaliknya pada pasien yang tidak sensitif terhadap GH karena mutasi reseptor. IGH-1 bekerja  melalui reseptor IGH-1 dan reseptor insulin mengakibatkan penurunan kadar insulin dan kadar glukosa.

C.    INDIKASI
Selama ini indikasi hormon pertumbuhan hanya dibatasi untuk mengatasi kekerdilan. Akibat hipopituitarisme. Dengan ditemukannya cara rekayasa genetika untuk memproduksi hormon ini secara mudah dalam jumlah besar, ada kemungkinan penggunaanya untuk mengatasi gangguan pertumbuhan akan lebih luas. Efektivitas hormon ini pada difisiensi partial dan anak pendek yang normal hanya tampak diawal terapi. Untuk indikasi ini sulit ditentukan siapa yang perlu diobati, kapan pengobatan dimulai dan kapan berakhir. Juga perlu disertai penanganan psikologis, yang akan sangat penting artinya bila terapi gagal.
Berbagai usulan bermunculan dalam 10 tahun terakhir ini, antara lain anjuran penggunaan pada anak pendek yang tingginya dibawah 10 % populasi dan berespon terhadap terapi hormon pertumbuhan yang dicobakan dulu selama 6 bulan, bagaimana pun penggunaan hormon ini pada kasus tanpa difisiensi hormon berhadapan dengan pertimbangan etis. Perlu pertimbangan manfaat risiko efek samping serius misalnya akromegali, gangguan kardiovaskular, gangguan metabolisme glukosa yang terjadi pada kelebihan hormon endogen, tetapi jugs risiko kejiwaan pada hormon endogen, tetapi juga risiko kejiwaan pada kegagalan terapi (perubahan persepsi pendek normal menjadi abnormal).
Dengan dibuatnya hormon ini secara rekayasa genetik keterbatasan pengadaan tidak akan menjadi masalah lagi. Kalau faktor biaya juga  tidak menjadi masalah, perlu dipikirkan adanya batasan yang jelas mengenai indikasi.saat ini telah ada laporan penggunaan diluar indikasi yang telah jelas, misalnya penyalahgunaan obat atlet untuk mencapai tinggi dan bentuk badan tertentu dan mencapai tinggi dan bentuk badan tertentu dan pada orang lanjut usia untuk menghambat proses penuaan. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa hormon pertumbuhan menyebabkan hal- hal yang menguntungkan untuk atlet dan orang lanjut usia yaitu penurunan jumlah jaringan lemak, peningkatan jaringan otot, peningkatan BMR, penurunan total kolesterol, peningkatan kekuatan isometrik dan kemampuan kerja fisik, namun efeknya sebagai antipenuaan tetap dipertanyakan. Pada mencit justru GH dan IGH-1 analog secara konsisten memperpendek umur. Pemakaian GH oleh atlit dilarang oleh Komite Olimpiade. Terapi hormon GH telah disetujui di USA untuk pasien yang kekurangan berat (wasting) karena AIDS, terapi ini bermanfaat untuk sebagian pasien tersebut.
Hormon pertumbuhan perlu diberikan 3 kali seminggu selama masa pertumbuhan. Pada saat pubertas perlu ditambahkan pemberian hormon kelamin agar terjadi pematangan organ kelamin yang sejalan dengan pertumbuhan tubuh. Evalusi terapi dilakukan enam bulan setelah pengobatan. Terapi dikatakan berhasil bila terlihat pertambahan tinggi minimal 5 cm. Tampaknya pengobatan lebih berhasil pada mereka yang gemuk. Pertumbuhan sangat kecil atau hampir tidak ada pada usia 20-24 tahun. Resistensi, yang sangat jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh timbulnya antibodi terhadap hormon pertumbuhan, hal ini dapat diatasi dengan menaikkan dosis. Di masa lalu manfaat GH pada usia dewasa dengan defisiensi GH tidak pernah dibicarakan. Baru belakangan diketahui gejala-gejala obesitas umum, kurangnya massa otot dan curah jantung yang menurun akan berkurang dengan pemberian GH. Tahun 2004 GH diindikasikan untuk short-bowel syndrome yang tergantung pada total parentral nutrition. Pemberiannya bersama glutamin, untuk memperbaiki pertumbuhan sel mukosa usus. Tahun 1993 di USA GH diizinkan digunakan untuk meningkatkan produksi susu oleh sapi, tetapi apabila sering terjadi mastitis, maka pemakaian antibiotik meningkat dan dikhawatirkan adanya residu antibiotik pada susu dan daging sapi.
1.      SOMATREM
Hormon pertumbuhan yang dihasilkan dengan cara rekayasa genetik ini memiliki satu gugus metionin tambahan pada terminal-N. Hal ini mungkin menjadi penyebab timbulnya antibodi dalam kadar rendah terhadap sediaan ini pada ± 30% pasien, adanya antibodi ini tedak mempengaruhi perangsangan pertumbuhan oleh hormon. Efek biologisnya sama dengan somatropin. 1 mg somatrem setara dengan 2.6 IU hormon pertumbuhan.
a.      Kegunaan klinik: Diindikasikan untuk difesiensi hormon pertumbuhan pada anak. Penggunaann pada difisiensi parsial dan anak pendek normal masih harus diteliti. Suntikan lepas lambat yang melepas obat perlahan-lahan dapat diberikan subcutan sebulan sekali. Ada pula preparat yang diberikan 3-6 kali perminggu. Kadar puncak dicapai dalam 2-4 jam dan kadar terapi bertahan 36 jam.Bila terapi tidak berhasil, setelah 6 bulan obat harus dihentikan
b.      Dosis. Harus disesuaikan kebutuhan perorangan, dan diberikan oleh spesialis. Dosis total seminggu dapat juga dibagi dalam 6-7 kali pemberian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa respons lebih baik bila obat diberikan tiap hari.pengobatan diberikan sampai diberikan epifisis atau bila tidak ada lagi respons.
c.       Efek samping. Hiperglikemia dan ketosis (diabeto genic)bisa terjadi pada pasien dengan riwayat diabetes mellitus.
2.      Somatropin
Secara kimia identik dengan hormon pertumbuhan manusia tetapi dibuat dengan rekayasa ginetik, efek geologik sama tetapi tidak ada resiko kontaminasi virus penyebab penyakit Creutzfeldt-Zacob 1 ml gram obat ini setara 2,6 IU hormon pertumbuhan.
a.      Kegunaan klinik. Sama dengan somatrem.
b.      Efek samping dan interaksi obat.  Pembentukan antibodi hanya hanya 2% pasien. Antibodi ini juga tidak menghambat efek perangsangan pertumbuhan . Glukokortikoid diduga dapat menghambat perangsangsn pertumbuhan oleh hormon ini.
c.       Cara pemberian. IM dan SC seperti somatrem, begitu pula lama pengobatan. Dosis maksimum dibagi 3 kali pemberian dalam seminggu. Atau 6-7 kali pemberian dalam seminggu. Ada juga yang menggunakan dosis yang sama dengan somatrem. Telah diketahui bahwa umumnya pengobatan dengan hormon pertumbuhan menunjukkan respons yang makin lama makin menurun. Suatu penelitian menunjukkan bahwa menaikkan dosis pada saat respon menurun dapat kembali meningkatkan respon, tanpa efek samping pada metabolisme karbohidrat maupun lipid. Penurunan respons mungkin juga disebabkan oleh penutupan epifisis atau ada masalah lain, misal malnutrisi atau hipotiroidisme. Saat penyuntikan mungkin mempengaruhi hasil. Penyuntikan pada malam hari kurang mempengaruhi pola metabolisme (asam lemak rantai medium, serum alanin, laktat) dibandingkan pada pagi hari.
3.      SOMATOMEDIN C (IGF-1).
Somatomedin ialah sekelompok mediator faktor pertumbuhan yang mula- mula ditemukan dalam serum tikus normal. In  vitro, somatodedin meningkatkan inkorporasi sulfat ke dalam jaringan tulang rawan, karena itu zat ini dulu disebut sulfation factor. Kemudian ternyata masih banyak efek lain yang dapat ditimbulkannya sehingga zat ini disebut somatomedin.
Somatomedin juga terdapat dalam serum manusia, zat inni bertambah pada akromegali dam menghilang pada hipopituitarisme, in vitro, zat ini juga merangsang sintesis DNA, RNA, dan protein oleh kondrosit. Ternyata efek somatomedin sangat luas, mencakup berbagai efek hormon pertumbuhan. Meskipun demikian, telah terbukti bahwatidak semua efek hormon pertumbuhan diperantai oleh somatomedin.
Somatumedin dibuat terutama di hepar, selain itu juga di ginjal dan otot. Zat- zat ini disentesis sebagai respons terhadap hormon pertumbuhan dan tidak disimpan. Somatomedin menghambat sekresi hormon pertumbuhan melalui mekanisme umpan balik. Sejumlah kecil pasien dengan gangguan pertumbuhan familiaal tak memiliki cukup somatomedin meskipun kadar hormon pertumbuhannya normal, dan pemberian hormon pertumbuhan pada pasien ini tidak memperbaiki gangguan peretumbuhan.
4.      MEKASERMIN
Diindikasikan untuk kasus difisiensi IGF-1 yang tidak responsif terhadap GH karena terjadi mutasi pada reseptor dan terbentuknya antibodi yang mnetralisir GH.
Mekasremin adalah kompleks rhlGF-1 dan recombinanthiman IGF- binding protein 3 (rhIGFBP-3).
a.      Efek sampingnya, yang utama hipoglikemia, untuk mencegah efek samping ini harus makan dulu 20 menit sebelum atau sesudah pemberian mekasermin subkutan. Beberapa pasien menderita peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan enzim hepar. ANTAGONIS GH. Adenoma hipofisis dapat menyebabkan gigantisme dan akromegali. Oktreotid adalah analog somastotatin yang potensinya 45 kali lebih dalam menghambat GH,tetapi hanya 2 kali dalam penurunan insulin. Bromokriptin menurunkan produksi GH. Pegvisoman menghambat kerja GH di reseptor dan dipakai untuk kasus akromegali.

HORMON TIROID
A.    BIOSINTETIS
Kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid, yang akan disimpan sebagai residu asam amino dari tiroglobulin. Tiroglibulin merupakan glikoprotein yang menempati sebagian besar folikel koloid kelenjar tiroid.
Secara garis besar, sintesis, penyimpanan, sekresi, dan konversi hormon tiroid, terdiri dari beberapa tahap:
a)      Ambilan (uptake) ion yududa (I’) oleh kelenjar
b)      Oksidasi yodida dan yodinasi gugus tirosil pada tirogobulin
c)      Penggabungan residu yodotirosin a.i. menghasilkan yodotironin
d)     Resopsi koloid tiroglibulin dari lumen kedalam sel
e)      Proteolisis tiroglibulin dan pengeluaran  atau sekresi tiroksin (T4) dan tryodotironin (T3) ke aliran darah
f)       Recycling yodium di antara sel- sel tiroid melalui deyodinasi dari mono- dan diyodotirosin dan penggunaan kembali ion yudida (I’) dan
g)      Konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer dan dalam kelenjar tiroid
a.       Ambilan yodida
Yodium dari makanan mencapai sirkulasi dalam bentuk yodida. Pada keadaan normal kadarnya dalam darah sangat rendah (0,2- 0,4 µg/dL). Tetapi kelenjar tiroid mampu menyerap yodida cukup kuat, hingga yodida dalam kelenjar mencapai 20- 50 kali, bahkan bila kelenjar terangsang mencapai 100 kali dari kadar plasma.mekanisme tranfor yodida ke kelenjar dihambat beberapa ion, misal tiosinat dan perkiorat. Sistem transpor yodida ini dipicu hormon tirotropin dari adenohipofisis (thyroid- stimulating hormone, TSH) yang diatur oleh mekanisme autoregulasi. Karenanya bila simpanan yodium dikelenjar rendah ambilan yodida akan dipicu dan sebaliknya pemberian yodida akan menekan mekanisme di atas.
            Mekanisme yang sama dijumpai pula pada alat lain misalnya kelenjar ludah, mukosa lambung, kulit, kelenjar mamae dan plasenta yang dapat mempertahankan kadar yodida 10- 15 kali lebih tinggi dari dalam darah.
b.      Oksidasi dan yodinasi
Oksidasi yodida menjadi bentuk aktifnya diperantai tiroid peroksidase, enzim yang mengandung heme, dan menggunakan H2O2 sebagai oksidan. Enzim ini berada dimembran sel dan terkonsentrasi dipermukaan paling atas dari kelenjar. Reaksi ini menghasilkan residu monoyodotirosil (MT) dan diyodotirosil (DIT) dalam tiroglibulin, tepat sebelum penyimpanan ekstraselulernya di lumen folikel kelenjar. Reaksi tersebur dirangsan TSH.
c.       Pembentukan tiroksin dan triyodotironin dari yodotirosin
Tahap beriktnya, pembentukan triyodotironin dari residu monoyodotirosi dan diyodotirosil. Reaksi oksidasi ini juga dikatalisasi oleh enzim tiroid peroksidase. Kecepatan pembentukan tiroksin dipengaruhi kadar TSH dan tersedianya yodida. Telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara jumlah tiroksin dan triyodotironin yang terbentuk dalam kelenjar dan tersedianya jumlah yodida atau kedua yodotirosin, misalnya pada tikus, bila terjadi defesiensi yodium pada kelenjar tiroid, rasio tiroksin/ triyodotironin akan menurun dari 4 : 1 menjadi 1 : 3. Karena T3 meruopakan bentuk transkripsi aktif yodium dan hanya mengandung sekitar tiga per empat bagian yodium, penurunan jumlah yodium yang tersedia hanya sedikit berpengaruh terhadap jumlah hormon tiroid yang keluar dari kelenjar.
d.      Resorpsi
e.       Proteolisis koloid dan
f.       Sekresi hormon tiroid
Karena T3 dan T4 disentesis dan disimpan sebagai bagian dari tiroglobulin, maka untuk sekresinya diperlukan proses proteolisis. Proses ini dimulai dari endositosis koloid dari lumen folikel pada permukaan sel, dengan bantuan reseptor tiroglobulin, yakni megalin. Tiroglibulin harus dipecah dahulu menjadi beberapa asam amino, agar hormon tiroid dapat dilepaskan, proses ini dibantu oleh TSH. Pada saat tiroglibulin terhidrolisis, monoyodotirosin dan diyodotirosin juga dilepaskan tetapi tetap berada dalam kelenjar, sedangkan yodium yang dilepaskan sebagai yodida akan tergabung lagi dengan protein. Molikel triglubulin dibentuk oleh 300 residu karbohidrat dan 5500 residu asam amino dan hanya 2-5 diantaranya adalah T4, dengan demikian untuk melepaskan hormon tiroid, molekul tiroglibulin harus dipecah menjadi gugus- gugus asam amino. Mekanisme ini dipicu oleh hormon tirotropin.
g.      Konversi tiroksin menjadi triyodotironin dijaringan perifer
Pada keadaan normal produksi tiroksin (T4) sehari antara 70- 90 µg, sedangkan triyodotironin (T3) 15- 30 µg. meski T3 diproduksi kelenjar tiroid, sekitar 80% T3 disirkulasi adalah hasil metabolisme T4 yang terjadi melalui sekuensial monodeyodinasi di jaringan perifer.  Sebagian besar konversi T4 menjadi T3 diluar kelenjar, yakni terjadi di hati. Karenanya bila tiroksin diberikan pada pasien hipotiroid dengna dosis yang dapat menormalkan tiroksin plasma, kadar T3 plasma yang juga akan mencapai normal.

No comments:

Post a Comment