HORMON PERTUMBUHAN
A.
FAAL
Pertumbuhan. Fungsi fisiologi hormon pertumbuhan
yang paling jelas adalah terhadap pertumbuhan. Defisiensi hormon ini
menyebabkan kekerdilan (dwarfisme), sedang kelebihan hormon ini menyebabkan
gigantisme pada anak dan akromegali pada orang dewasa. Disamping hormon lain
juga dalam berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan normal yaitu
tiroid, insulin, androgen dan estrogen.
Pemberian hormon pertumbuhan pada pasien
hipopituitarisme menyebabkan pertumbuhan normal apabila pengobatan dimulai
cukup dini. Pematangan alat kelamin tidak terjadi tanpa pemberian hormon
kelamin atau gonadotropin. Gigantisme dan akromegali tidak pernah dilaporkan
terjadi akibat terapi dengan hormon ini.
B.
EFEK
TERHADAP METABOLISME.
Hormon pertumbuhan terutama mempengaruhi metabolisme
karbohidrat dan lemak, dengan mekanisme kerja belum jelas. Hormon lain yaitu
insulin, glukagon juga berpengaruh terhadap pengaturan zat- zat ini. Pengaruh
hormon ini terhadap metabolisme karbohidrat saling berkaitan sehingga sukar
dirinci satu per satu. Hormon pertumbuhan memperlihatkan efek antiinsukin yaitu
meninggikan kadar gula darah, tetapi disamping itu juga berefek seperti insulin
yaitu menghambat penglepasan asam lemak dan merangsang ambilan asam amino oleh
sel. Efek ini sebagian besar mungkin diperantarai oleh somatomedin C atau disebut juga IGF-1 (insulin like growth factor
1) dan sebagian kecil oleh insulin like growth factor 2 (IGF-2).
Hormon pertumbuhan terbukti berpengaruh pada
penyakit diabetes melitus. Pasien diabetes sangat sensitif terhadap terjadinya
hiperglikemia oleh hormon pertumbuhan. Pada pasien bukan diabetes melitus
hormon ini dapat diberikan dalam dosis besar tanpa menyebabkan hiperglikemia,
bahkan sebaliknya kadang- kadang dapat menyebabkan hipoglikemia pada pada
pemberian akut karena mempermudah glikogenesis.
Pada
keadaan lapar hormon pertumbuhan menyebabkan mobilisasi lemak dari depot lamak
untuk masuk keperedaran darah. Hormon ini agaknya mengalihkan sumber energi
dari karbohidrat ke lemak.
Hormon pertumbuhan memperlihatkan keseimbangan
positif untuk N, P, Na, K, Ca dan Cl, unsur- unsur terpenting untuk membangun
jaringan baru. Nitrogen terutama terdapat dalam asam amino yang dibawa kedalam
jaringan untuk ebentuk protein meningkat, sehingga kadar N dalam darah
(urea)
menurun, sesuai dengan efek anaboliknya.
Efek GH terhadap pertumbuhan terutama terjadi
melalui peningkatan produksi IGF-1, terutama dibentuk dalam hepar. Selain itu
GH juga terangsang produksi IGF-1 ditulang, tulang rawan, otot dan ginjal. GH
merangsang pertumbuhan longitodinal tulang sampai epifisis menutup, hapir saat
akhir pubertas.
Baik pada anak- anak maupun dewasa GH mempunyai efek
anabolik pada otot dan katabolik pada sel- sel lemak sehingga terjdi
peningkatan assa otot dan pengurangan jaringan lemak terutama di daerah
pinggang. Terhadap metabolise karbohidrat GH dan IGF-1 mepunyai efek yang
berlawanan pada sensivitas terhadap insulin.
GH menurunkan sensivitas terhadap insulin sehingga
terjadi hiperinsulinemia. Sebaliknya pada pasien yang tidak sensitif terhadap
GH karena mutasi reseptor. IGH-1 bekerja
melalui reseptor IGH-1 dan reseptor insulin mengakibatkan penurunan
kadar insulin dan kadar glukosa.
C.
INDIKASI
Selama ini indikasi hormon pertumbuhan hanya
dibatasi untuk mengatasi kekerdilan. Akibat hipopituitarisme. Dengan
ditemukannya cara rekayasa genetika untuk memproduksi hormon ini secara mudah
dalam jumlah besar, ada kemungkinan penggunaanya untuk mengatasi gangguan
pertumbuhan akan lebih luas. Efektivitas hormon ini pada difisiensi partial dan
anak pendek yang normal hanya tampak diawal terapi. Untuk indikasi ini sulit
ditentukan siapa yang perlu diobati, kapan pengobatan dimulai dan kapan
berakhir. Juga perlu disertai penanganan psikologis, yang akan sangat penting
artinya bila terapi gagal.
Berbagai usulan bermunculan dalam 10 tahun terakhir
ini, antara lain anjuran penggunaan pada anak pendek yang tingginya dibawah 10
% populasi dan berespon terhadap terapi hormon pertumbuhan yang dicobakan dulu
selama 6 bulan, bagaimana pun penggunaan hormon ini pada kasus tanpa difisiensi
hormon berhadapan dengan pertimbangan etis. Perlu pertimbangan manfaat risiko
efek samping serius misalnya akromegali, gangguan kardiovaskular, gangguan
metabolisme glukosa yang terjadi pada kelebihan hormon endogen, tetapi jugs
risiko kejiwaan pada hormon endogen, tetapi juga risiko kejiwaan pada kegagalan
terapi (perubahan persepsi pendek normal menjadi abnormal).
Dengan dibuatnya hormon ini secara rekayasa genetik
keterbatasan pengadaan tidak akan menjadi masalah lagi. Kalau faktor biaya
juga tidak menjadi masalah, perlu
dipikirkan adanya batasan yang jelas mengenai indikasi.saat ini telah ada
laporan penggunaan diluar indikasi yang telah jelas, misalnya penyalahgunaan
obat atlet untuk mencapai tinggi dan bentuk badan tertentu dan mencapai tinggi
dan bentuk badan tertentu dan pada orang lanjut usia untuk menghambat proses
penuaan. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa hormon pertumbuhan menyebabkan
hal- hal yang menguntungkan untuk atlet dan orang lanjut usia yaitu penurunan
jumlah jaringan lemak, peningkatan jaringan otot, peningkatan BMR, penurunan
total kolesterol, peningkatan kekuatan isometrik dan kemampuan kerja fisik,
namun efeknya sebagai antipenuaan tetap dipertanyakan. Pada mencit justru GH
dan IGH-1 analog secara konsisten memperpendek umur. Pemakaian GH oleh atlit
dilarang oleh Komite Olimpiade. Terapi hormon GH telah disetujui di USA untuk
pasien yang kekurangan berat (wasting) karena AIDS, terapi ini bermanfaat untuk
sebagian pasien tersebut.
Hormon pertumbuhan perlu diberikan 3 kali seminggu
selama masa pertumbuhan. Pada saat pubertas perlu ditambahkan pemberian hormon
kelamin agar terjadi pematangan organ kelamin yang sejalan dengan pertumbuhan
tubuh. Evalusi terapi dilakukan enam bulan setelah pengobatan. Terapi dikatakan
berhasil bila terlihat pertambahan tinggi minimal 5 cm. Tampaknya pengobatan
lebih berhasil pada mereka yang gemuk. Pertumbuhan sangat kecil atau hampir
tidak ada pada usia 20-24 tahun. Resistensi, yang sangat jarang terjadi,
biasanya disebabkan oleh timbulnya antibodi terhadap hormon pertumbuhan, hal
ini dapat diatasi dengan menaikkan dosis. Di masa lalu manfaat GH pada usia
dewasa dengan defisiensi GH tidak pernah dibicarakan. Baru belakangan diketahui
gejala-gejala obesitas umum, kurangnya massa otot dan curah jantung yang
menurun akan berkurang dengan pemberian GH. Tahun 2004 GH diindikasikan untuk short-bowel syndrome yang tergantung
pada total parentral nutrition.
Pemberiannya bersama glutamin, untuk memperbaiki pertumbuhan sel mukosa usus.
Tahun 1993 di USA GH diizinkan digunakan untuk meningkatkan produksi susu oleh
sapi, tetapi apabila sering terjadi mastitis, maka pemakaian antibiotik
meningkat dan dikhawatirkan adanya residu antibiotik pada susu dan daging sapi.
1. SOMATREM
Hormon
pertumbuhan yang dihasilkan dengan cara rekayasa genetik ini memiliki satu
gugus metionin tambahan pada terminal-N. Hal ini mungkin menjadi penyebab
timbulnya antibodi dalam kadar rendah terhadap sediaan ini pada ± 30% pasien,
adanya antibodi ini tedak mempengaruhi perangsangan pertumbuhan oleh hormon.
Efek biologisnya sama dengan somatropin. 1 mg somatrem setara dengan 2.6 IU
hormon pertumbuhan.
a.
Kegunaan
klinik: Diindikasikan untuk difesiensi hormon pertumbuhan
pada anak. Penggunaann pada difisiensi parsial dan anak pendek normal masih
harus diteliti. Suntikan lepas lambat yang melepas obat perlahan-lahan dapat
diberikan subcutan sebulan sekali. Ada pula preparat yang diberikan 3-6 kali
perminggu. Kadar puncak dicapai dalam 2-4 jam dan kadar terapi bertahan 36 jam.Bila
terapi tidak berhasil, setelah 6 bulan obat harus dihentikan
b.
Dosis.
Harus disesuaikan kebutuhan perorangan, dan diberikan oleh spesialis. Dosis
total seminggu dapat juga dibagi dalam 6-7 kali pemberian, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa respons lebih baik bila obat diberikan tiap hari.pengobatan
diberikan sampai diberikan epifisis atau bila tidak ada lagi respons.
c.
Efek
samping. Hiperglikemia dan ketosis (diabeto genic)bisa
terjadi pada pasien dengan riwayat diabetes mellitus.
2. Somatropin
Secara kimia identik
dengan hormon pertumbuhan manusia tetapi dibuat dengan rekayasa ginetik, efek
geologik sama tetapi tidak ada resiko kontaminasi virus penyebab penyakit
Creutzfeldt-Zacob 1 ml gram obat ini setara 2,6 IU hormon pertumbuhan.
a.
Kegunaan
klinik. Sama dengan somatrem.
b.
Efek
samping dan interaksi obat.
Pembentukan antibodi hanya hanya 2% pasien. Antibodi ini juga tidak
menghambat efek perangsangan pertumbuhan . Glukokortikoid diduga dapat
menghambat perangsangsn pertumbuhan oleh hormon ini.
c. Cara pemberian. IM
dan SC seperti somatrem, begitu pula lama pengobatan. Dosis maksimum dibagi 3
kali pemberian dalam seminggu. Atau 6-7 kali pemberian dalam seminggu. Ada juga
yang menggunakan dosis yang sama dengan somatrem. Telah diketahui bahwa umumnya
pengobatan dengan hormon pertumbuhan menunjukkan respons yang makin lama makin
menurun. Suatu penelitian menunjukkan bahwa menaikkan dosis pada saat respon
menurun dapat kembali meningkatkan respon, tanpa efek samping pada metabolisme
karbohidrat maupun lipid. Penurunan respons mungkin juga disebabkan oleh
penutupan epifisis atau ada masalah lain, misal malnutrisi atau hipotiroidisme.
Saat penyuntikan mungkin mempengaruhi hasil. Penyuntikan pada malam hari kurang
mempengaruhi pola metabolisme (asam lemak rantai medium, serum alanin, laktat)
dibandingkan pada pagi hari.
3. SOMATOMEDIN C
(IGF-1).
Somatomedin
ialah sekelompok mediator faktor pertumbuhan yang mula- mula ditemukan dalam
serum tikus normal. In vitro, somatodedin meningkatkan
inkorporasi sulfat ke dalam jaringan tulang rawan, karena itu zat ini dulu
disebut sulfation factor. Kemudian ternyata
masih banyak efek lain yang dapat ditimbulkannya sehingga zat ini disebut
somatomedin.
Somatomedin
juga terdapat dalam serum manusia, zat inni bertambah pada akromegali dam
menghilang pada hipopituitarisme, in
vitro, zat ini juga merangsang sintesis DNA, RNA, dan protein oleh
kondrosit. Ternyata efek somatomedin sangat luas, mencakup berbagai efek hormon
pertumbuhan. Meskipun demikian, telah terbukti bahwatidak semua efek hormon
pertumbuhan diperantai oleh somatomedin.
Somatumedin
dibuat terutama di hepar, selain itu juga di ginjal dan otot. Zat- zat ini
disentesis sebagai respons terhadap hormon pertumbuhan dan tidak disimpan. Somatomedin
menghambat sekresi hormon pertumbuhan melalui mekanisme umpan balik. Sejumlah
kecil pasien dengan gangguan pertumbuhan familiaal tak memiliki cukup
somatomedin meskipun kadar hormon pertumbuhannya normal, dan pemberian hormon
pertumbuhan pada pasien ini tidak memperbaiki gangguan peretumbuhan.
4. MEKASERMIN
Diindikasikan
untuk kasus difisiensi IGF-1 yang tidak responsif terhadap GH karena terjadi
mutasi pada reseptor dan terbentuknya antibodi yang mnetralisir GH.
Mekasremin
adalah kompleks rhlGF-1 dan recombinanthiman
IGF- binding protein 3 (rhIGFBP-3).
a.
Efek
sampingnya, yang utama hipoglikemia, untuk mencegah
efek samping ini harus makan dulu 20 menit sebelum atau sesudah pemberian
mekasermin subkutan. Beberapa pasien menderita peningkatan tekanan intrakranial
dan peningkatan enzim hepar. ANTAGONIS GH. Adenoma hipofisis dapat menyebabkan
gigantisme dan akromegali. Oktreotid adalah analog somastotatin yang potensinya
45 kali lebih dalam menghambat GH,tetapi hanya 2 kali dalam penurunan insulin.
Bromokriptin menurunkan produksi GH. Pegvisoman menghambat kerja GH di reseptor
dan dipakai untuk kasus akromegali.
HORMON TIROID
A. BIOSINTETIS
Kelenjar tiroid
memproduksi hormon tiroid, yang akan disimpan sebagai residu asam amino dari
tiroglobulin. Tiroglibulin merupakan glikoprotein yang menempati sebagian besar
folikel koloid kelenjar tiroid.
Secara
garis besar, sintesis, penyimpanan, sekresi, dan konversi hormon tiroid,
terdiri dari beberapa tahap:
a) Ambilan
(uptake) ion yududa (I’) oleh kelenjar
b) Oksidasi
yodida dan yodinasi gugus tirosil pada tirogobulin
c) Penggabungan
residu yodotirosin a.i. menghasilkan yodotironin
d) Resopsi
koloid tiroglibulin dari lumen kedalam sel
e) Proteolisis
tiroglibulin dan pengeluaran atau
sekresi tiroksin (T4) dan tryodotironin (T3) ke aliran darah
f) Recycling
yodium di antara sel- sel tiroid melalui deyodinasi dari mono- dan
diyodotirosin dan penggunaan kembali ion yudida (I’) dan
g) Konversi
T4 menjadi T3 di jaringan perifer dan dalam kelenjar tiroid
a. Ambilan
yodida
Yodium
dari makanan mencapai sirkulasi dalam bentuk yodida. Pada keadaan normal
kadarnya dalam darah sangat rendah (0,2- 0,4 µg/dL). Tetapi kelenjar tiroid
mampu menyerap yodida cukup kuat, hingga yodida dalam kelenjar mencapai 20- 50
kali, bahkan bila kelenjar terangsang mencapai 100 kali dari kadar plasma.mekanisme
tranfor yodida ke kelenjar dihambat beberapa ion, misal tiosinat dan perkiorat.
Sistem transpor yodida ini dipicu hormon tirotropin dari adenohipofisis (thyroid-
stimulating hormone, TSH) yang diatur oleh mekanisme autoregulasi. Karenanya
bila simpanan yodium dikelenjar rendah ambilan yodida akan dipicu dan
sebaliknya pemberian yodida akan menekan mekanisme di atas.
Mekanisme yang sama dijumpai pula
pada alat lain misalnya kelenjar ludah, mukosa lambung, kulit, kelenjar mamae
dan plasenta yang dapat mempertahankan kadar yodida 10- 15 kali lebih tinggi
dari dalam darah.
b. Oksidasi
dan yodinasi
Oksidasi
yodida menjadi bentuk aktifnya diperantai tiroid peroksidase, enzim yang
mengandung heme, dan menggunakan H2O2 sebagai oksidan.
Enzim ini berada dimembran sel dan terkonsentrasi dipermukaan paling atas dari
kelenjar. Reaksi ini menghasilkan residu monoyodotirosil (MT) dan diyodotirosil
(DIT) dalam tiroglibulin, tepat sebelum penyimpanan ekstraselulernya di lumen
folikel kelenjar. Reaksi tersebur dirangsan TSH.
c. Pembentukan
tiroksin dan triyodotironin dari yodotirosin
Tahap
beriktnya, pembentukan triyodotironin dari residu monoyodotirosi dan
diyodotirosil. Reaksi oksidasi ini juga dikatalisasi oleh enzim tiroid
peroksidase. Kecepatan pembentukan tiroksin dipengaruhi kadar TSH dan
tersedianya yodida. Telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara jumlah
tiroksin dan triyodotironin yang terbentuk dalam kelenjar dan tersedianya
jumlah yodida atau kedua yodotirosin, misalnya pada tikus, bila terjadi
defesiensi yodium pada kelenjar tiroid, rasio tiroksin/ triyodotironin akan
menurun dari 4 : 1 menjadi 1 : 3. Karena T3 meruopakan bentuk transkripsi aktif
yodium dan hanya mengandung sekitar tiga per empat bagian yodium, penurunan
jumlah yodium yang tersedia hanya sedikit berpengaruh terhadap jumlah hormon
tiroid yang keluar dari kelenjar.
d. Resorpsi
e. Proteolisis
koloid dan
f. Sekresi
hormon tiroid
Karena
T3 dan T4 disentesis dan disimpan sebagai bagian dari tiroglobulin, maka untuk sekresinya
diperlukan proses proteolisis. Proses ini dimulai dari endositosis koloid dari
lumen folikel pada permukaan sel, dengan bantuan reseptor tiroglobulin, yakni
megalin. Tiroglibulin harus dipecah dahulu menjadi beberapa asam amino, agar
hormon tiroid dapat dilepaskan, proses ini dibantu oleh TSH. Pada saat
tiroglibulin terhidrolisis, monoyodotirosin dan diyodotirosin juga dilepaskan
tetapi tetap berada dalam kelenjar, sedangkan yodium yang dilepaskan sebagai
yodida akan tergabung lagi dengan protein. Molikel triglubulin dibentuk oleh 300
residu karbohidrat dan 5500 residu asam amino dan hanya 2-5 diantaranya adalah
T4, dengan demikian untuk melepaskan hormon tiroid, molekul
tiroglibulin harus dipecah menjadi gugus- gugus asam amino. Mekanisme ini
dipicu oleh hormon tirotropin.
g. Konversi
tiroksin menjadi triyodotironin dijaringan perifer
Pada
keadaan normal produksi tiroksin (T4) sehari antara 70- 90 µg, sedangkan
triyodotironin (T3) 15- 30 µg. meski T3 diproduksi kelenjar tiroid, sekitar 80%
T3 disirkulasi adalah hasil metabolisme T4 yang terjadi melalui sekuensial
monodeyodinasi di jaringan perifer. Sebagian
besar konversi T4 menjadi T3 diluar kelenjar, yakni terjadi di hati. Karenanya
bila tiroksin diberikan pada pasien hipotiroid dengna dosis yang dapat
menormalkan tiroksin plasma, kadar T3 plasma yang juga akan mencapai
normal.
No comments:
Post a Comment